Swara Syaiton: (1) Sang Penderita

Disaat teman-teman kita di Palestine sana tengah tabah menderita, pun aku juga sama. Aku juga tak kalah tabah dan menderitanya menghadapi cobaan hidup saat ini. By the way, aku sedang hidup diantara kerumunan orang-orang muslim yang tengah menjalankan berbagai ibadah di bulan Ramadhan.

Perkenalkan, namaku Syaiton. Bukan nama sebenarnya. Itu nama julukan hasil labeling karena aku lahir pada hari Sabtu Pon. Banyak kabar miring tentangku. Bukan karena black campaign, namun karena aku memang terlahir untuk dihina. Bahkan sebelum aku turun ke bumi, orang-orang udah berburuk sangka padaku. Ada yang bilang kalau aku ini makhluk paling laknat, jahanam, kafaro, dll. Aku sendiri nggak begitu mengetahui apa aja gossip tentangku diluar sana. Terakhir, tadi malam aku dengar di radio bahwa katanya aku sedang diikat oleh bagindaku satu bulan penuh. Katanya aku diikat karena diprediksi bakal mengganggu dan berpotensi melanggar hak orang-orang lain. Padahal nyatanya aku masih disini, menulis surat ini. Semua yang mereka ceritakan itu sesat karena mereka takut kalau aku akan menjadi pemimpin republik periode selanjutnya.

Aku nggak diikat. Sungguh! Itu hanya permainan gaya bahasa oleh penyiar radio agar chanelnya tetap mendapatkan rating yang tinggi. Walaupun nggak diikat, aku ini justru terikat. Terikat sama kontrak agama yang telah disepakati oleh nenek moyangku. Oleh kontrak itulah, aku dilarang berbuat ini-itu. Aku dilarang melakukan tindakan maksiat, sampai-sampai dilarang minum softdrink juga, minuman kesukaanku. Parahnya lagi, keturunan kami dilarang untuk makan dengan sengaja. Kalau nggak sengaja barulah boleh katanya. Oiya, satu lagi larangan yang baru dirilis awal pekan kemarin. Dilarang golput!

Peraturan dibuat untuk ditaati. Begitulah kira-kira ucapan kakakku ketika dia masih hidup di kampung ini. Sekarang dia justru berkhianat, tak mau tunduk dengan aturan. Dia berkhianat dengan berlagak mencari cinta hingga ke tanah seberang. Kabarnya dia sempat bermukim di ujung aspal pulau Sumatra, setelah itu hilang tak ada kabarnya. Mungkin dia sudah menemukan cintanya di keabadian.

Jujur saja. Kalau masalah aturan, aku adalah orang yang taat. Lihat saja track record hidupku. Belum pernah sekalipun aku melakukan plagiarism ataupun masuk daftar cekal karena absensi lebih dari 25%. Namun, kontrak agama beserta sederet aturan permainannya ini membuat aku menderita. Sangat menderita! Aku masih mentaati peraturan itu, meskipun sesekali melanggar beberapa poin kesepakatan. Tenang saja. Yang aku langgar itu yang nggak terlihat. Jadi, kalau sewaktu-waktu ada yang membuat gugatan, aku tidak perlu menyiapkan mekanisme pertahanan yang bejubel.

Aku tidak punya banyak waktu untuk mendeskripsikan kepribadianku. Singkatnya aku adalah seorang yang pendiam dan benci dengan realita. Yang pendiam itu banyak, lebih spesifiknya tentang aku begini. Kalau kamu sedang membonceng pria dalam jarak 30 km dan dia tidak berkata apapun berarti kamu sedang membonceng motorku. Aku benci dengan realita karena dunia ini tidak adil dan dipenuhi dengan orang-orang yang sok tau. Juga dipenuhi oleh pendukung fans humanity yang ababil itu. Aku selalu mendambakan dunia yang damai, tanpa ada virus-virus kebencian yang membuat orang lain menderita. Aku mimpi dengan sengaja, siang maupun malam. Lha wong namanya juga sedang kasmaran, yo lumrah lah ya. Itu kontrak agama yang paling sering aku langgar bulan ini.

Aku juga perlu menceritakan sedikit tentang aktivitasku sekarang. Saat ini aku sedang mendapat libur musim gajelas selama lebih dari dua bulan. Untuk mengisi liburan, juga mengisi berat badan dan rekening, aku memutuskan untuk kembali ke kampung halaman. Ke kampungku yang elok yang berada di balik lereng gunung, tepat di tengah-tengah pulau Jawa. Sayangnya disini situasinya sudah benar-benar berbeda dibandingkan ketika aku masih anak-anak. Tak ada lagi teman-teman sebaya yang mengajakku berkelana setiap malam. Sekarang mereka sudah sibuk berkelana, mengembara dan mengembala dengan betinanya masing-masing. Di kamar saja. Sementara aku juga di kamar untuk berusaha menikmati indahnya tidur, tidur sendiri. Hal itu aku lakukan juga agar kelak tubuhku tidak sekurus-keling gini.

Biasanya malam-malam di kampung ini benar-benar suram. Buktinya kami hanya bertemankan gulita saja. Sesekali, segelintir bintang tidak tega melihat perderitaan kami. Namun malam ini sungguh berbeda. Malam ini cerah sekali hingga dihadiri oleh bulan purnama ditemani beberapa bintang yang tersebar. Sayangnya kebanyakan orang di kampung ini nggak begitu pandai membaca tanda dari alam. Dalam hati aku ingin bicara, “ Ini lho malam yang indah. Ini lho sinyal dari baginda untuk berpesta. Ini lho waktunya kita keluar, jalan-jalan mencari jajanan”.

Beberapa pemuda -tentunya yang masih perjaka- malah berlomba-lomba mendapatkan perhatian dari wanita, khususnya wanita muda. Mereka, mereka saling berorasi dari depan mushola, berebut mic untuk membaca kitab yang dianggap sakral dengan suara lantang dan syahdu, berharap mendapatkan pujian dan perhatian. Aku, aku ini raisopopo. Nggak seperti mereka yang jago berorasi. Kalau o*ani barulah aku sepadan dengan mereka. Aku minder dan memilih menghindar dari mereka. Mencoba mencari tempat dengan frekuensi penderitaan yang paling lemah. Saat ini aku masih berusaha.


Muna lah kamu. Semangat! setengah bulan lagi lebaran!

Bersambung...

*dampak ditinggal tarawih sekeluarga, dirumah sendirian, ga ada kerjaan. Setengah bulan lagi lebaran dab!

Comments

Popular posts from this blog

RA ISO NYANDING

FOTO YB

Size Doesn't Matter